Wednesday, September 9, 2009

Ilmu Alam VS Ilmu Sosial


Berikut ini adalah tugas mata kuliah Logic & Philosophy of Science yang menjelaskan mengenai perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu sosial. Sebuah debat dalam masyarakat, khususnya para akademisi yang berusaha berdiri dengan argumentasinya masing-masing mengenai pentingnya kedua ilmu. Yang jelas, bagi saya sendiri, tidak ada yang lebih penting. Semua penting karena memegang peranan dan tujuannya masing-masing. Berikut isi dari tugas perbedaan ilmu alam dengan ilmu sosial:



Ilmu-ilmu sosial selama bertahun-tahun telah menjadi arena sejumlah kritik. Ilmu sosial secara garis besar dianggap sebagai ‘ilmu yang tidak mungkin’. Argumentasi yang ada melihat bahwa gejala sosial adalah terlalu rumit untuk diselidiki. Ilmu sosial, yang membahas mengenai seluruh seluk beluk kehidupan manusia, dianggap tak mampu menangkap ke-kompleksitas-annya. Manusia memiliki gejala dan perilaku yang selalu berubah-ubah, inilah yang mendasari munculnya argumentasi tersebut. Namun, pandangan ini muncul disebabkan oleh kesalahan pada pemahaman tentang hakekat ilmu.

Kesalahan tentang Hakekat Ilmu
Apa yang dimaksudkan dengan lmu dan apa yang dikerjakannya menjadi dasar kesalahan memandang ilmu itu sendiri. Ilmu diharuskan untuk mereproduksikan kenyataan, dan ilmu yang tak mampu melakukannya dianggap gagal. Kekacauan lain adalah tentang sifat dan fungsi ilmu. Dalam hal ini, fungsi ilmu tidak hanya untuk memproduksikan alam secara harfiah, namun juga bahwa pernyataan keilmuan harus membawakan sensasi, rekasi, atau tanggap terhadap rangsang yang betul-betul, atau hampir sama, atau memberikan pengalaman yang sama.
Ilmu dianggap sebagai hal yang harus menjadikan segala sesuatunya sama. Tuduhan bahwa ‘kenyataan terlalu sulit untuk ditangkap’ terletak pada kekacauan memandang hakekat dan fungsi keilmuan.


Tuduhan Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial
Ilmu Sosial dianggap gagal memberikan gambaran psikologis yang ekivalen. Mis : Keunikan dari interaksi sosial dari sebuah rapat dewan direktur.
Metode keilmuan bersifat generalisasi sehingga tidak mampu menangkap keunikan gejala sosial. Padahal penelaah-penelaah sosial tertarik pada Keunikan tiap-tiap kejadian sosial. Sehingga harus diterapkan metode lain dalam ilmu sosial.

Cara Menentukan sejauh mana argumentasi mampu meyakinkan kita:
Tanyakan dulu pada diri sendiri apa yang diartikan dengan UNIK dan istilah-istilah yang serupa dalam lingkup ini. Kiranya jelas bahwa suatu bentuk UNIK secara hakiki (sebuah bentuk berbeda dengan semua bentuk lainnya).
Contoh : Dari setiap 2 benda yang berbeda A dan B, akan terdapat paling tidak 1 sifat yang dipunyai yang satu namun tidak dipunyai oleh yang lainnya.
Semua Gejala ilmu-ilmu sosial adalah UNIK. Jika anggapan mengenai keunikan ini adalah benar, maka bukan hanya ilmu-ilmu sosial namun semua ilmu adalah TIDAK MUNGKIN.


Pemunculan (Emergentisme)
Kaum emergentis melihat bahwa terdapat beberapa gejala sosial, namun tidak seluruhnya, yang tidak dapat diteliti secara keilmuan, sejauh menyangkut hukum sebab akibat. Keraguan ini didasarkan pada thesis pemunculan mutlak. Dalam thesis ini, beberapa peristiwa terjadi dan tidak bisa diramalkan (tidak logis).
Sedangkan dalam thesis pemunculan relatif, dikemukakan bahwa neberapa persitiwa terjadi dan disebabkan keadaan-keadaan tertentu. Thesis pemunculan relatif menyatakan bahwa sudah tidak diragukan lagi, tapi tidak menutup kemungkinan, jika gejala sosial diselidiki dengan metode keilmuan, karena berdasar thesis pemunculan mutlak, dan metode keilmuan sama sekali tidak bisa diterapkan jika tidak ada bukti yang mendukung.
Untuk menyusun thesis pemunculan mutlak, bukan saja harus membuktikan tidak ada hipotesis yang serupa yang sudah dirumuskan, atau tidak akan ada hipotesis yang akan dirumuskan di masa depan, tetapi juga harus dibuktikan secara logis. Dalam hal ini, pendukung-pendukungnya belum dapat memberikan bukti-bukti tersebut dan sukar membayangkan bagaimana bukti-bukti tersebut dapat diberikan.

Verstehen
Verstehen berari “pengertian” berbeda dengan Wissen yang artinya “mengetahui”. Verstehen adalah MENGERTI bukan saja MENGETAHUI kejadian sosial. Untuk mengerti kejadian sosial, kita harus menempatkan diri pada tempat obyek yang diteliti. Misalnya, untuk mengetahui kehidupan martir, kita harus menempatkan diri sebagai martir. Dengan introspeksi berdasarkan pengalaman intuitisi yang langsung, maka kita akan mendapatkan pengertian tersebut.
Melihat Verstehen, metodologi ini tidak melihat apakah dengan tercapainya suatu pengertian yang mendalam tentang beberapa pokok persoalan adalah berguna, atau apakah Verstehen merupakan teknik dalam menemukan dan hipotesis. Juga tidak melihat apakah teknik-teknik penemuan seperti itu adalah khusus bagi ilmu-ilmu sosial.
Masalah yang sebenarnya adalah apakah Verstehen merupakan metode yang dapat diandalkan dalam proses pengesyahan hipotesis gejala sosial. Apakah Verstehen, jika memang ada, dan dalam pengertian apa adalah metode pengesyahan. Kedua, apakah memang Verstehen merupakan metodologi yang penting hanya bagi ilmu-ilmu sosial itu sendiri.
Pertanyaan tersebut dijawab dengan argumentasi berikut:
Dalam metodologi ilmu-ilmu sosial, bertujuan mendapatkan pengertian mendalam, di mana hal ini dapat dicapai dan disyahkan baik dengan Verstehen dengan mencoba merasakan kejadian sosial tersebut. Pendapat ini di didukung pula oleh Max Weber.
Jika kita menyingkirkan kesulitan dalam mendefinisikan pengertian seperti “penuh arti” dan “pengertian” maka kita bisa menerima Verstehen sebagai suatu metode pengesyahan. Verstehen bukanlah metode satu-satunya dalam ilmu-ilmu sosial.

No comments:

Post a Comment